TRIMATRANews | Jakarta – Indonesia kembali diguncang mega skandal korupsi yang mencuat ke permukaan, kali ini di tubuh PT Pertamina. Kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah menjadikannya salah satu kasus rasuah terbesar dalam sejarah Tanah Air. Namun, di tengah riuh rendah pemberitaan ini, muncul pertanyaan besar: apakah skandal ini benar-benar akan dituntaskan, atau hanya sekadar menjadi pengalih perhatian dari kasus-kasus lain yang siap tenggelam begitu isu baru muncul?
Bukan sekali dua kali publik menyaksikan pola permainan ini. Setiap kali sebuah skandal besar terkuak, perhatian masyarakat dengan cepat diarahkan ke kasus tersebut. Namun, seiring waktu, isu tersebut perlahan menghilang dari pemberitaan dan tak terdengar lagi kelanjutannya. Fenomena ini menimbulkan spekulasi bahwa skandal besar bisa jadi hanya buaian semata—sebuah strategi untuk menutupi skandal lain yang tak kalah mencengangkan.
Kasus korupsi di Pertamina menjadi contoh nyata bagaimana isu korupsi di Indonesia terus berulang dengan pola serupa. Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan minyak oleh Pertamina, dengan empat di antaranya berasal dari dua anak perusahaan, yakni PT Pertamina Patra Niaga dan PT Pertamina International Shipping.
Yang lebih mengejutkan, skandal ini dikaitkan dengan dugaan pengoplosan Pertamax (RON 92), di mana BBM dengan kadar oktan lebih rendah diduga diakui sebagai RON 92. Jika benar demikian, maka rakyat bukan hanya dirugikan dari sisi anggaran negara, tetapi juga dari sisi kualitas bahan bakar yang digunakan sehari-hari.
Di tengah terungkapnya kasus ini, publik kembali menggali arsip lama yang menyangkut Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sebuah cuitan di platform X (sebelumnya Twitter) tertanggal 3 Oktober 2011 kembali viral. Dalam cuitan tersebut, Prabowo dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap hukuman mati bagi para koruptor.
"Saya tidak bangga Indonesia dicap sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Saya mendukung hukuman mati bagi koruptor," tulis Prabowo saat itu.
Cuitan ini pun menuai reaksi beragam dari warganet. Banyak yang menagih janji tersebut agar diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata.
"Sekarang sudah jadi presiden. Saatnya mewujudkan itu. Kecuali twit 2011 ini juga cuma omon-omon," tulis seorang warganet.
"Terima kasih Pak Prabowo, ditunggu peraturan dan undang-undangnya untuk menghukum mati koruptor. Tentu saja hukuman yang tak pandang bulu, mau itu musuh politik bapak, maupun koalisi atau rekan bisnis bapak," timpal warganet lainnya.
Sorotan terhadap janji Prabowo ini juga datang dari kalangan publik figur. Musisi Baskara Putra alias Hindia ikut menyoroti hal ini dengan cuitan singkat namun bermakna: "Letsgooooo."
Penerapan hukuman mati bagi koruptor memang menjadi perdebatan panjang di Indonesia. Beberapa pihak mendukung gagasan ini sebagai bentuk efek jera, sementara lainnya menilai bahwa hukuman tersebut belum tentu efektif, apalagi jika akar permasalahan korupsi di tubuh birokrasi belum dibereskan.
Dalam banyak kasus, skandal korupsi di Indonesia sering kali melibatkan jaringan kuat yang mencakup pejabat tinggi, politisi, hingga pelaku bisnis besar. Persoalan utama bukan hanya pada hukuman, tetapi juga bagaimana sistem bisa lebih transparan dan bebas dari intervensi pihak berkepentingan.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak skandal besar yang mencuat di Indonesia, namun sedikit yang benar-benar diselesaikan hingga ke akarnya. Kasus Bank Century, Jiwasraya, Asabri, e-KTP, hingga kasus-kasus korupsi di sektor migas dan energi, semuanya seolah hanya menjadi episode yang akhirnya lenyap begitu isu lain muncul.
Apakah skandal Pertamina ini akan bernasib sama? Ataukah kali ini benar-benar akan ada tindakan tegas? Jawabannya masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal yang pasti, rakyat tidak bisa terus-menerus dikelabui dengan siklus yang sama.
Seperti yang dikatakan seorang warganet, "Kami sudah bosan dengan sandiwara. Kami ingin keadilan yang nyata, bukan sekadar wacana." (TIM/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar